About

Kajian SENSOR

Kajian SENSOR atau kajian senin sore adalah pengajian rutin 2 minguan untuk Pelajar Muslim SMA Negeri 2 Yogyakarta

RISPER

Kharisma Newspaper atau yang lebih sering disebut RISPER adalah sebuah media dakwah tempel yang di pasang di tiap kelas SMA Negeri 2 Yogyakarta

Khawama

Khawama atau Kharisma Wall Magazine adalah buat karya anak-anak Pengurus Kharisma yang digunakan sebagai media pendidikan Islam

Pengajian Idul Adha

Pengajian Idul Adha 1432 H SMA Negeri 2 Yogyakarta

Masjid Ash-Shidiq

Masjid Ash-Shidiq SMA Negeri 2 Yogyakarta

Saturday 9 June 2012

Mengingat Allah

Allah lah yang membuat kita mampu tersenyum walau dalam keadaan menangis.
Tempat bertahan ketika kita hendak menyerah.
Tempat berdoa ketika hilang tempat mengadu dan ketika semua orang menjauh.
Tempat untuk kembali bangkit sekalipun hati kita telah hancur berkali-kali.
Tempat untuk tetap mengerti ketika tak ada satupun terlihat memberi arti.

Segala sesuatu menjadi mungkin karena Allah lebih memahami kita melebihi diri kita

Ketika wajah penat memikirkan dunia, maka berwudhulah.
Ketika pundak tak kuasa memikul amanah maka bersujudlah.
Ikhlaskannya agar semuanya tunduk, disaat yang lain angkuh,
agar tangguh disaat yang lain runtuh,
agar tegar disaat yang lain terlempar,
dan ingat hanya Allah lah tempat kita untuk bergantung.

Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nashir.

"Ingatlah, dengan mengingat Allah dapat menentramkan hati" (Ar-Ra'd : 28)

Saturday 5 May 2012

Kajian SENSOR

SENSOR | "Keajaiban Sholat" | Ust. M. Afis Sabirin | Senin, 7 Mei 2012 | 13.30-selesai | @ Masjid Ash Shiddiq | FREE!!

Tuesday 24 April 2012

Sudah Bosan Hidup?

Pertanyaan seperti diatas sebenarnya telah lama terungkap di dunia ini. Jauh sebelum islam datang, Bangsa Arab telah melukiskan dalam bahasa syairnya. Tak dipungkiri permasalahan orang dahulu itu karena menganut sistem “Raja Hutan”. Siapa yang berkuasa itulah yang menang. Tak mau disaingi cukup menaklukkan lawan. Entah itu membunuh personnya langsung atau perang antar-suku. Tetapi ini hanya bebicara metode saja, ekesistensi tetap sama, “the power is win”. Hanya esiensi yang berbeda jika dibandingkan jaman kini. Maka muncullah penyair-penyair mencoba menuangkan segala gundah hatinya atas ketidak-adilan. Kalo soal keadilan, kita bicara politik dulu sekarang. Coba liat aja deh, yang menang politik itu siapa? Pemimpin partai, anggota DPR atau sekaliber Menteri, bagaimana? Sampai-sampai lagu negara aja diplesetkan, “membela yang bayar…” Namun pertanyaan selanjutunya, “Kenapa??”

Sebelum menjawab, kita tengok dulu salah satu Syair(1) yang mencoba mengungkapkan betapa bosannya ia dengan senda gurau dunia,
“Aku sudah bosan dengan permasalahan hidup dan segala kehidupannya.
Delapan puluh tahun, semoga bapakmu sudah meninggal”.
Senada lahirnya istilah, “itu lagi itu lagi”. Partai boleh berganti, tapi muka tetap sama! Terjadi khan. Betapa banyak hari ini muncul partai baru, muka sama, hanya berganti nama saja.Yuk agak nyambung kalo kita kemakanan aja, coba makan daging ayam tiap hari, kalau gitu-itu aja terus pasti akan bosan juga.
Makanya cara mengatasi paling ampuh, adalah bagaimana mengubah menu makan agar bervariasi. Kemarin makan nasi, hari ini roti dan sekali-kali besok jangan makan, gimana? Puasa-lah. Kedua, disini juga ditekankan, air diam itu cepat terkontaminasi. maksudnya dalam hidup sesekali harus keluar dari zona kenyamanan, lingkungan rutinitas seharian. Buat warna dan tantangan dalam hidup anda. Jangan tingggal diam. Itulah sebabnya dalam tingkatan dien; setelah berilmu , beramal selanjutnya berdakwah dan bersabar dengannya. Bagaimana agar tidak hanya mengecap iman untuk konsumsi pribadi. Tetapi men-deliveri-kan juga kepada orang lain.

Kemudian, bijaknya kita harus bersyukur. Kalau tiap hari dapat masalah berbeda. Jangankan soal problematika hidup, persoalan makan-memakan aja kita cepat bosan. Ya bersyukur kalau dapat masalah, artinya Allah masih memberi kita kehidupan untuk menyelesaikan masalah. Menguji kita untuk bisa lebih dikatakan, “Orang-orang beriman”. Konon salah satu perusahaan di Amerika justru menerapkan “manajemen konflik”. Bagaimana? Di dalam perusahaan sengaja dimasukkan orang yang dianggap bisa bermasalah. Bisa membuat masalah. Entah itu antar karyawan atau dengan leader-nya sendiri. Mereka sengaja membuat konflik dan permasalahan. Untuk apa? Agar para karyawan khusunya kepala-kepala divisi bisa lebih dewasa menghadapi tantangan kedepannya. Seru khan?

Bahkan hal yang pertama kali dicari orang dalam menyusun karya tulis ilmiah maupun program kerja organisasi adalah mencari masalah! Terus bagaimana jika masalahnya tak berhenti?
Itulah masalah kalau masalahnya berhenti. Syair diatas melanjutkan, cukuplah umurmu paling lama 80 tahun. Artinya hidup di dunia ini paling singkat. Jangan berharap terlalu lama kalau tidak juga bermanfaat. Kata lirik nasyid, “Walaupun hidup seribu tahun kalau tidak shalat, apa gunanya”. Tidak usah meminta dipanjangkan umurnya agar masih bisa memperbanyak kekayaan dan jabatan. Itu hanya menambah masalah saja. Kita memang tidak disuruh meminta masalah, tapi juga jangan menambahnya. Yang diminta adalah umur yang untuk lebih medekatkan diri kepada Allah. Umur sejatinya seperti perkataan(2) “Wahai anak Adam, sejatinya dirimu hanyalah potongan-potongan hari. Jika berlalu satu hari hari. Maka lenyap pulalah sebagian dari dirimu”. Singkat tetapi begitu bermakna.betul-betul digunakan dalam ketaatan. Jika tak bisa menjadi matahari, cukuplah lilin. Sebentar tapi bermakna. Perlu diingat, begitu singkatnyalah jangan lupa kalau dipaksakan berlama-lama, lilin justru memusnahkan diri sendiri. Karena lentera, semakin lama menyala, redup minyaknya semakin lama berkurang pula jatah hidupnya.

Di dunia ini hanya ada dua, kebenaran dan kebatilan. Kebatilan itu satu. Kebenaran juga satu. Dan tidak akan mungkin bersatu until doomsday. Tujuan kita hanya Surga atau Neraka. Tidak ada diantara keduanya. Ketika abjad B bersingkat “Born” berarti lahir. Dan Huruf D diartikan “Dead”, mati. Maka diantaranya hanyalah C “Choise”. Hidup adalah pilihan. Antara Surga dan Neraka itulah pilihan. Anda mau sedih atau gembira. Mau gagal atau sukses. Pilih dosa or maksiat. Begitu banyak hidup memberikan pilihan. Bagaimanapun kitalah yang memilih. Dan Allah yang menetapkan atas pilihan. Mungkin anda memilih A, tapi justru B yang terpilih. Ingatlah, boleh jadi menurut kita baik, bagi Allah itu tidak baik. Dia lebih mengetahui kebutuhan dari sekedar keinginan kita.

So pastinya anda harus tetap memilih. Tapi apa yang Allah pilihkan dan ditetapkan itulah yang terbaik.
Apakah anda akan tetap bosan dengan hidup ini atau segera mengakhirinya sama sekali? Tak mampu lagi menahan cobaan terpaan hidup? Mengakhiri adalah solusi terbaik?
Jangan berhenti sebelum anda mengambil keputusan!
#Berlanjut kecatatan(3) syair berikutnya#.
Makassar, 17/12/11
by : Muhammd Scilta Riska
_______________________________________________________
(1) Harma ibnu Sinan dan Harits ibnu ‘Auf
(2) Hasan al-Bashri
(3) Tulisan ini sebenarnya implementasi untuk membuat rangkuman catatan setiap pekan apa yang telah kami pelajari dari mata kuliah “Adab” dalam Sastra Arab jaman dulu hingga kini. Dan akan berlanjut hingga beberapa drama. Mencoba mengejawantahkan dengan ilustrasi fenomena terkini. Karena dasarnya yang berubah hanyalah jaman saja, eksistetnsi manusianya tetap sama. Semisal sifat sombong, dari jaman Nabi Adam, Adam Smith, Adam Jordan dan Adam Malik-pun tetap ada dan sama. Hanya cara mereka besikap sombong berbeda.

Mempelajari sejarah masa lalu, berarti kita sedang mempersiapakan masa depan. Betapa indahnya kefasihan bahasa Arab dahulu sebelum masuknya islam. Sehingga islam datang tidak hanya karena bahasa al-Qur’an tak tertandingi, tetapi juga memperbaiki sastra akhlak dan manusia seutuhnya. Karena sejatinya orang jahiliyah dulu tetap mengakui Allah sebagai Tuhan pencipta Alam semesta. Hanya karena tidak bertauhid, yang berhak disembah hanyalah Allah semata. Kita tak menginginkan “so far so bad”, tetapi berusaha “Kaizen” terus melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Sejalan dengan pesan Rasulullah, “Muslim yang bijak dan beruntung adalah apabila hari ini ia lebih baik dari kemarin”. Keimanan memang boleh berkurang tetapi amal kebaikan harus tetap bertambah. Sungguh kewajiban itu banyak sekali, sementara waktu yang tersedia terbatas. Kenapa kita musti bersenda gurau akan dunia dan kehidupannya. 

Sumber: http://www.rumahrohis.com/2012/02/sudah-bosan-hidup.html

Sunday 1 April 2012

Jangan Pernah Takut Tak Dapat Rizki

Assalamu’alaikum…

Diceritakan tentang kisah Rasulullah Saw., mengenai seekor ulat yang hidup didasar laut atas rizki Allah. Ketika itu, Rasulullah sedang mengadakan acara walimatul ‘ursy dengan seorang wanita sebagai istrinya. Saat para sahabat yang diundang menyaksikan makanan yang dijamukan Rasulullah, mereka membincangkan darimana Rasulullah menghidupi istri-istri beliau. Maklum saja jamuan walimahnya saja begitu sederhana.

Usai shalat berjamaah, Rasulullah lalu bercerita mengenai masalah rizki kepada para sahabatnya yang diundang itu. “Ini kisah yang disampaikan oleh malaikat Jibril, boleh aku bercerita?” tanya Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam. Para sahabat pun langsung mengiyakan dengan penuh antusias untuk mendengarkan. Lalu, berceritalah Nabi Muhammad tentang Nabi Sulaiman yang sedang shalat di tepi pantai. Nabi Sulaiman melihat seekor semut berjalan di atas air sambil membawa daun hijau seraya memanggil katak. Kemudian, muncullah sang katak lalu menggendong semut dan membawanya menuju ke dasar laut. Apa yang terjadi di dasar laut? semut menceritakan bahwa di dasar laut itu berdiam seekor ulat yang soal rizkinya telah dipasrahkan kepada semut itu. “Sehari dua kali aku diantar malaikat ke dasar laut untuk memberi makanan kepada ulat”. Kata semut.

“Siapa malaikat itu?” tanya Nabi Sulaiman.
“Ya yang menjelma menjadi katak itu,” Jawab Semut.

Setiap usai menerima kiriman daun hijau dan memakannya, si ulat mengucapkan syukur kepada Allah. “Maha Besar Allah yang menakdirkan aku hidup di dalam laut,” kata ulat. Di akhir ceritanya, Rasulullahshalallahu ‘alahi wa sallam, lalu berkata, “Jika ulat yang tinggal di dasar laut saja Allah masih tetap memberinya makan, apakah Allah tega menelantarkan umat Muhammad soal rizki dan rahmat-Nya?” tandas Rasulullah. Mari kita tengok Firman Allah yang artinya sebagai berikut:

“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs. at-Thalaq: 2-3)

Berdasarkan kisah di atas dan Firman Allah di atas, tentunya kita tidak perlu takut dan bersedih ketika belum mendapatkan rizki. Tancapkan dalam hati bahwa tak mungkin Allah akan membiarkan hamba-Nya mati kelaparan, Allah pasti dan senantiasa memberi rizki kepada hamba-Nya. Kita hanya butuh usaha, berdoa dan kita pasrahkan hasilnya kepada Allah. Allah Maha Kaya, Maha Pemberi Nikmat dan Maha Segalanya. Tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak.

Source : http://almakmun83.wordpress.com/

Saturday 17 March 2012

Jangan Berdiam Diri Saja

Hidup di dunia memang tidak seindah impian, betapa banyak manusia yang bermimpi untuk sebuah kehidupan yang indah dan menyenangkan namun tak mampu meraihnya, namun di surga kelak sesungguhnya manusia akan mendapatkan sebuah kehidupan yang sangat jauh lebih indah melampaui apa yang mampu diimpikannya, kebahagiaan dan kesenangan, semuanya tak pernah mampu diimpikan bahkan oleh impian terindah manusia sekalipun. Lalu mengapa harus hanya bermimpi yang tak pernah pasti? Sedang janji Allah adalah suatu hal yang pasti dan Jannah adalah suatu hal yang pasti, maka raihlah segala peluang untuk meraih Jannah, jangan hanya bermimpi!!!

Rubahlah diri dan hidup anda saat ini menuju sebuah janji yang pasti, sesungguhnya Allah Maha Tidak Mengingkari Janji, jalankanlah setiap amal dan ibadah sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itulah satu-satunya jalan meraih Jannah. Jangan pernah menunggu lagi dan banyak membuang waktu dengan mimpi, karena syaithon akan banyak menyisipkan keburukan dalam mimpi itu, janganlah enggan meraih Jannah meski dengan amal yang sederhana, namun sesuai sunnah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.” Mereka (para Shahabat) bertanya: “Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau: “Barang siapa yang mentaatiku pasti akan masuk Surga, dan barang siapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.” [Hadits shohih, diriwayatkan oleh Bukhori (no. 7280) dan Ahmad (II/361), dari Abu Hurairah rodhiyalloohu’anhu]

Thursday 15 March 2012

Etika Diskusi

Diskusi adalah salah satu dari sekian banyak metode dakwah, karena ada segmen tertentu masyarakat yang hanya mau menyambut seruan dakwah dengan penjelasan yang argumentatif. Bahkan ada juga orang yang hanya akan turut jika sang da’i mampu mematahkan penentangannya melalui perdebatan.

Seorang da’i memiliki berbagai media yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan dakwahnya di tengah masyarakat. Namun, hendaknya ia memahami bahwa media pertama dan utama yang harus didahulukan atas yang lain adalah “diskusi”. Mengapa demikian? Karena kata-kata yang baik dan tulus adalah senjata utama dan sebagai bekal dai dalam mengemban tugas mulia ini, baik ketika menawarkan –untuk pertama kali- dakwahnya kepada orang lain ataupun ketika membela diri dari tuduhan keji. Selain itu, diskusi juga merupakan media pokok untuk melakukan interaksi antar dai, utamanya tatkala ada perbedaan pendapat dalam memahami suatu permasalahan, memahami metodologi, maupun menentukan skala prioritas dakwah.

Terdapat banyak variabel yang menunjang keberhasilan suatu proses diskusi, meliputi situasi psikologis, momentum, suasana ruangan, kejelasan vokal pelaku diskusi, validitas argumentasi, dan yang mutlak harus ada pada diri sang da’i adalah akhlak yang mulia. Jadi, ada aspek moral yang harus diindahkan dan ada faktor skill yang harus dikuasai.

Dengan begitu, setelah orang tahu rambu-rambu yang boleh dan yang tidak boleh dalam diskusi, selebihnya aktivitas ini merupakan seni dalam berkomunikasi. Apalagi jika diingat bahwa yang terlibat di dalamnya adalah manusia yang sangat “tidak mekanis”. Yang dibutuhkan bukan sekedar sampainya pesan ke telinga audiens, tetapi bagaimana pesan itu sampai, dimengerti, dan diterima secara sadar. Dua aspek inilah (moral dan skill) yang perlu kita bahas.

Antara Diskusi dan Debat
Diskusi dan debat bertemu pada satu hal, bahwa keduanya sama-sama pembicaraan antara dua pihak. Akan tetapi, keduanya berbeda setelah itu.

Biasanya dalam perdebatan terjadi perseteruan, meski hanya sebatas perseteruan lisan. Perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang diwarnai oleh fanatisme terhadap pendapat masing-masing pihak dengan merendahkan pendapat pihak lain.

Diskusi merupakan upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh kedua belah pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya.

Dalam Al Quran kita dapati beberapa keterangan yang menunjukkan perbedaan antara debat dengan diskusi ini. Al Quran menggunakan kata jidal (debat) untuk hal-hal yang tidak diridhai atau tidak membawa manfaat. Seperrti di Surat Al Mu’min ayat 5 dan Al Hajj ayat 8. Kata jidal dalam Al Quran terdapat di 29 tempat. Hampir kesemuanya dalam konteks pembicaraan yang tidak menghendaki munculnya debat dan tidak bermanfaatnya sebuah perdebatan.

Adapun kata hiwar (diskusi), terdapat dalam Al Quran hanya pada tiga tempat. Sebenarnya kata-kata yang semakna dengan hiwar itu, tersebut dalam Al Quran dibanyak tempat. Hanya saja tidak menggunakan kosakata hiwar itu sendiri, akan tetapi menggunakan kosakata “berkata” (qala). Ini disebutkan dalam Al Quran sebanyak 527 kali.

Al Quran dan Diskusi
Al Quran, melalui ayat-ayatnya, menaruh perhatian besar pada gaya percakapan dan diskusi. Ini sama sekali tidak mengherankan, karena diskusi merupakan cara terbaik untuk meyakinkan dan memberikaan kepuasan kepada hati objek dakwah.

Al Quran menyuguhkan kepada kita beberapa contoh diskusi. Ada percakapan Allah Swt dengan para malaikat tentang pencipataan Adam a.s (Al Baqarah: 30-32); antara Allah Swt dengan Ibrahim a.s tatkala ia memohon kepada-Nya agar memperlihtkan bagaimana Dia menghidupkan orang mati (Al Baqarah : 260); antara Allah Swt dengan Musa a.s, tatkala Musa memohon kepada-Nya agar diizinkan untuk memandang wajah-Nya (Al A’raf: 143); kisah Isa a.s tatkala ditanya Allah Swt, apakah ia menyuruh kaumnya untuk menjadikan diri dan ibunya sebagai dua Tuhan selain Allah Swt ( Al Maidah : 116); diskusi dalam kisah pemilik dua kebun (Al Kahfi : 18); diskusi dalam kisah Ibrahim a.s tatkala hendak menyembelih anaknya (Ash-Shafat: 102); kisah Qarun dengan kaumnya (Al-Qashash: 76); kisah daud a.s dengan dua orang yang sedang bertikai (Shad: 21); kisah Nuh a.s bersama kaumnya (Al A’raf: 143); kisah Syu’aib bersama kaumnya (Hud: 84), dan contoh-contoh lain yang dapat kita jumpai dalam Al Quran, semuanya menunjukkan bagaimana pentingnya diskusi.

ETIKA DISKUSI
1. Niat
Hendaknya seorang dai menahan diri untuk tidak berdiskusi, jika ia tidak yakin bahwa motivasinya karena Allah Swt semata. Hendaklah ia tidak mempunyai maksud untuk menunjukkan kepandaian dan keluasan wawasannya dalam setiap perbincangan; atau mengangkat dirinya atas orang lain dengan meremehkan lawan bicara; atau membanggakan diri untuk mendapatkan sanjungan. Semua itu dapat menhapus pahala amalny di sisi Allah Swt dan merusak citranya di mata masyarakat.
 
Diriwayatkan bahwa ada seorang anak yang bertanya kepada bapaknya, “Ayah, ananda melihat ayah melarang kami berdebat, padahal dahulu ayah pendebat ulung.” Sang bapak menjawab, “Wahai anakku, dahulu kami berdebat dengan perasaan was-was yang amat sangat kalau-kalau kami mengalahkan lawan bicara. Sedangkan kini, kalian berdebat dengan rasa cemas jangan-jangan tergelincir lantas dikalahkan oleh lawan bicara.

“Perlu ditegaskan bahwa pelaku diskusi harus berhenti, jika ia mendapati bahwa dirinya telah berubah dari tujuan semula; telah masuk ke dalam suasana permusuhan dan pertentangan. Sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya larangan yang pertama ditujukan kepadaku setelah penyembahan berhala adalah perdebatan (yang dibarengi dengan permusuhan)).. Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya saya berikan jaminan dengan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, padahal sesungguhnya ia adalah pihak yang benar. Juga sebuah rumah di sekitarnya bagi orang yang meninggalkan perdebatan, sementara ia berada di pihak yang salah.”

2. Situasi yang Kondusif
Seorang pelaku diskusi hendaklah melihat situasi sebelum berdiskusi; apakah cocok untuk melakukan diskusi atau tidak. Situasi yang melingkupi kita menyangkut tiga macam, yaitu tempat, waktu, dan manusianya. Ungkapan klasik menyatakan, “Tidak setiap yang diketahui itu harus diucapkan. Setiap posisi sosial memiliki kata-katanya sendiri.”

3. Ilmu
Janganlah memperbincangkan suatu tema yang engkau sendiri tidak mengerti dengan baik dan janganlah engkau membela suatu pemikiran manakala kamu tidak yakin dengan pemikiran tersebut. Bashirah (pengetahuan yang dalam) yang diisyaratkan dalam Al Quran berfungsi sebagai perlindungan bagi dai untuk tidak berbicara tanpa ilmu dan menahan dirinya dari usaha membantah argumentasi orang lain tanpa ia sendiri mempelajari tema pembicaraan.

Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu mencari ilmu untuk berbangga jadi ulama, merendahkan orang-orang bodoh, dan agar orang lain berpaling kepadamu. Barangsiapa melakukan untuk itu, ia di neraka” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

4. Manusia itu Beragam
Kemampuan otak manusia, tingkat pemahaman, dan keluasan wawasannya, sangat berbeda-beda. Argumentasi yang bisa dipahami oleh Zaid, belum tentu dapat dipahami oleh Amar. Pembicara yang baik adalah pembicara yang memahami dengan siapa ia berbicara, lalu ia dapat menentukan metode yang dianggap sesuai untuknya.

Salah satu cara untuk mengetahui tingkatan lawan bicara adalah dengan melontarkan pertanyaan netral kepadanya yang mengesankan adanya kesamaan pemikiran antara Anda, pembicara, dengannya. Dengan begitu, Anda dapat mengukur kedalaman pengetahuannya tanpa menyinggung perasaannya.

5. Jangan Mendominasi Pembicaraan
Pelaku diskusi atau pembicara secaara umum, tidak boleh mendominasi pembicaraan; yakni tidak memberikan kepada pihak lain peluang berbicara. Tetapi cegahlah ia berbicara yang bertele-tele, sehingga keluar dari konteksnya. Mendominasi pembicaraan sama halnya dengan serakah dalam urusan makan. Semua itu merupakan sikap tercela.

6. Mendengarkan dengan Baik
Pembicara yang baik adalah pendengar yang baik, karenanya jadilah pendengar yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang lain. Sebaliknya, perhatikan ia sebagaimana engkau sendiri juga senang jika orang lain memperhatikanmu. Ketahuilah bahwa kebanyakan orang –sebenarnya- lebih menghormati pendengar yang baik daripada pembicara yang baik.

Kadang-kadang ada situasi tatkala engkau mendengarkan suatu pembicaraan, engkau melihat ada beberapa hal yang harus dievaluasi, dikomentari, diluruskan, atau diperjelas dari pembicaraan itu. Tentu saja sangat bermanfaat jika di tanganmu tersedia alat tulis dan kertas untuk membuat catatan. Jika giliranmu untuk berbicara tiba, engkau dapat menyampaikan catatanmu itu tanpa ada yang terlewatkaan. Sikap seperti ini jauh lebih utama daripada jika engkau memutuskan benang pikiran orang lain yang tengah diurai, yang akhirnya hanya merugikan dirimu sendiri.

7. Perhatikan Diri Sendiri
Ketika engkau tengah berbicara, perhatikanlah dirimu sendiri; apakah engkau berbicara terlalu keras? Ingatlah nasihat Lukman kepada puteranya, “Dan sederhanakanlah engkau dalam berjalan dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”.

Perhatikanlah dirimu: apakah engkau merasa lebih berilmu? Apakah ‘perasaan lebih’ itu tampak pada raut muka, tutur kata, atau gerakan tanganmu? Jika engkau merasakannya, ubahlah segera caramu itu. Jika merasa ada yang salah, segeralah minta maaf. Janganlah engkau mengikuti emosimu, sehingga engkau mengubah diri dari seorang kawan diskusi menjadi seorang penceramah. Karena bisa saja dari mulut seseorang keluar kata-kata kasar, ungkapan pedas, kalimat yang mengesankan dirinya seorang guru, pemberi petuah, sok merasa besar, dan semisalnya yang dapat melahirkan dampak negatif bagi diskusi yang dilakukannya.

8. Kejelasan
Tegasnya ungkapan, fasihnya lisan, dan bagusnya penjelasan adalah sebagian dari pilar-pilar penopang diskusi dan dialog yang produktif.

Rasulullah Saw bersabda, ”Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh mejelisnya dariku pada hari kiamat adalah orang-orang yang berlebihan dalam berbicara, yang suka mengungguli orang lain dengan perkataannya, dan yang menunjuk-nunjukkan mulut besarnya dengan omongan untuk menampakkan kelebihan di hadapan orang lain.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Suatu isyarat yang tepat bisa lebih berguna dari uraian dan penjelasan panjang lebar. Tindakan ini sekaligus berguna untuk mengoreksi kesalahan yang diperbuat orang lain tanpa membuat mereka tersinggung. Itulah yang pernah dilakukan oleh dua cucu Rasulullah Saw, Hasan dan Husain, ketika melihat seseorang yang kurang benar dalam berwudhu. Sementara rasa malu kepada orang itu menghalangi mereka untuk mengingatkannya secara terus terang. Keduannya (Hasan dan Husein) pun bermusyawarah, lalu bersepakat mendatanginya dan meminta kepadanya untuk menilai mereka berdua, mana yang lebih benar wudhunya. Orang itu lalu melihat secara cermat dan menilai wudhunya Hasan dan Husein. Setelah itu, sadarlah dia bahwa selama ini ia tidak bisa berwudhu dengan baik seperti wudhunya Hasan dan Husein. Inilah yang dimaksud dengan bayan (kejelasan).

9. Penggunaan Ilustrasi
Pelaku diskusi yang cerdik adalah mereka yang pandai membuat ilustrasi guna melengkapi dan memperjelas setiap uraian pembicaraannya. Imam Ghazali pernah membuat ilustrasi untuk orang yang mencegah kemungkaran dengan kekerasan. Mereka seperti orang yang ingin menghilangkan bercak darah dengan air kencing. Cara mencegah kemungkaran seperti itu adalah bentuk kemungkaran yang lain, bahkan bobot kemungkarannya lebih besar daripada kemungkaran yang diberantas. Kedua-duanya sama-sama najis, tetapi najisnya air kencing lebih berat.

10. Memperhatikan Titik-Titik Persamaan
Ketika seorang dai berbicara, hendaklah ia memulai pembicaraan dengan mengungkap titik-titik persamaan yang ada. Hal-hal yang asiomatik.

Dale Carnagie mengatakan, “Buatlah lawan bicaramu sepakat ataas contoh-contoh yang engkau lontarkan kepadanya dan biarkan ia menjawab dengan kata ‘ya’. Jauhkanlah –sebisa mungkin- antara dia dengan kata ‘tidak’. Karena kata ‘tidak’ merupakan rintangan yang sulit diatasi daan sulit dikalahkan. Seseorang yang telah berkata ‘tidak’, kesombongan akan memaksanya untuk senantiasa membela diri. Kata ‘tidak’ itu sebenarnya lebih dari sekedar kata yang terdiri dari beberapa huruf. Ketika seseorang berkata ‘tidak’, maka urat saraf dan emosinya terangsang untuk mendukung sikap penolakannya. Berbeda dengan kaata ‘ya’, yang sama sekali tidak membebani gerak jasmani.”

Dikisahkan, bahwa Socrates, seorang ahli hikmah dan filosof Yunani yang terkenal, juga mengikuti cara ini. Ia memulai diskusinya dengan orang lain dari titik-titik persamaan di antara mereka berdua. Ia bertanya kepada lawan bicaranya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, kecuali kata ‘ya’. Demikianlah Socraates terus mendapatkan jawaban ‘ya’ secara beruntun, sehingga lawan bicara menyadari bahwa dirinya telah menyetujui suatu ide yang beberapa saat sebelumnya ditolaknya mentah-mentah.

11. Saya Tidak Tahu
Apabila lawan diskusimu mengemukakan sesuatu pembicaraan yang engkau tidak memahaminya, janganlah engkau malu untuk bertanya dan meminta penjelasan. Karena apabila engkau diam, engkau akan rugi, akan dikatakan sebagai orang bodoh atau orang yang berusaha menutupi kebodohannya. Ketahuilah bahwa banyak pemimpin besar umat yang tidak malu mengatakan, “Saya tidak tahu!” Ia menjauh dari berfatwa tanpa pengetahuan yang cukup tentang masalah yang difatwakan.

12. Tidak Fanatik dan Mengakui Kesalahan
Sikap fanatik dalah sikap tetap tidak menerima kebenaran setelah adanya kejelasan dalil. Seorang muslim adalah pencari kebenaran. Ia tidak fanatik kepada individu, kelompok, atau paham tertentu. Berpijaklah di atas kebenaran di manapun kebenaran itu berada.

Mengakui kesalahan –setelah tidak mengakuinya di awal pembicaraan- dapat menarik simpati dan penghargaan dari lawan bicara. Berbeda halnya jika ia bergeming dengan kesalahannya, hal ini bisa menghilangkan rasa hormat dari orang lain, juga dari dirinya sendiri.

13. Jujur dan Kembali ke Sumber Rujukan
Hormatilah kebenaran. Jadilah orang yang jujur ketika menyampaikannya. Janganlah engkau memotong ungkapan, sehingga mengubah konteksnya atau mencabut daari relevansinya dengan memberikan penafsiran sesuai dengan keinginanmu. Di antara cara menghormati kebenaran adalah engkau tidak berargumentasi dengan mengutip pendapat orang yang tidak bisa dipercaya ilmu dan kejujurannya.

14. Menghormati Pihak Lain
Umar bin Khattab r.a berkata, Jangan sekali-kali engkau berprasangka terhaadap kata-kata saudaramu seiman selain dengan kebaikan, selama engkau dapati pada kata-kata itu peluang kepada kebaikan.

Diantara wasiat Rasululah Saw adalah, Seorang muslim adalam saudara bagi muslim (yang lain). Karenanya ia tidak menzhalimi, tidak meninggalkan, tidak merendahkan, dan tidak menghinakan. Cukuplah seseorang disebut buruk lantaran merendahkan saudara muslim yang lain.

15. Pemikiran dan Pemiliknya
Dalam suatu diskusi, sebaiknya yang dibahas, dianalisis, dikritik, dan disanggah adalah pemikirannya, bukan pemilik pemikiran itu. Hal itu untuk menghindari berubahnya forum diskusi menjadi forum percekcokan yang disertai dengan caci maki atau berubah dari forum diskusi pemikiran menjadi forum perseteruan fisik oleh individu-individu yang ada.

16. Yang Lebih Baik
“Berdebat dengan cara yang baik” itu artinya engkau tidak bersikap apriori terhadap pendapat lawan bicaramu dan menunjukkan penghargaan kepadanya, meskipun pendapat itu barangkali bertentangan dengan pikiranmu.

17. Menyerang dan Mematahkan
Metode menyerang dalam berdiskusi, meskipun dengan argumentasi yang kuat dan dalil yang nyata, dapat menimbulkan kebencian bagi orang lain. Hal itu karena mendapatkan simpati hati, sebenarnya lebih penting daripada mendapatkan perubahan sikap tetapi tidak berangkat dari hati yang tulus. Adapun jika engkau bersikap lemah lembut, ia akan merasa puas dengan pendapatmu, cepat atau lambat.

18. Perbedaan Pendapat dan Kasih Sayang
Perbedaan pendapat, sampai pun antarkawan dan sahabat, sering sampai menghapuskan rasa cinta dan kasih sayang. Waspadalah untuk tidak jatuh ke dalamnya. Perdebatan atau perbincangan, atau diskusi pada umumnya berpengaruh terhadap perasaan dan hati. Ingatlah hal ini tatkala engkau tengah berbicara dengan seseorang. Janganlah engkau tunjukkan sikap permusuhan kepada seseorang.

19. Jangan Marah
Jika lawan bicaramu tidak setuju dengan pendapatmu, jangan terburu marah. Janganlah engkau coba memaksakan semua orang untuk mengiyakan apa yang engkau anggap benar.

20. Ketika Logika Tak Lagi Berarti
Kadang-kadang, ketika engkau memulai diskusi, rasa permusuhan telah menguasai salah satu dari kedua belah pihak. Dalam keadaan demikian, apabila pihak yang menghadapinya dengan sikap yang baik, niscaya permusuhan itu akan berubah menjadi persahabatan dan kebencian berubah menjadi kasih sayang. Nasihat ini berguna bagi para orang tua yang suka mencela, para suami yang cerewet, para guru yang berhati batu, dan para pemimpin yang tengah marah.

21. Jangan Menggunakan Kata Ganti Orang Pertama
Sebaiknya seorang dai tidak menggunakan kata ganti orang pertama dalam berbicara, seperti “Saya telah berbuat demikian”, atau “Saya senang menjelaskan masalah ini” atau ‘Pendapatku dalam masalah ini adalah demikian.” Sebaiknya pula ia menjauhi penggunaan kata ganti orang pertama jamak. Misalnya, “Pengalaman kami membuktikan yang demikian. Apabila kami mempelajari masalah yang diperselisihkan, tampak bagi kami hal-hal berikut ini.”

Mengapa semua itu harus dihindari? Karena apabila hal itu digunakan ketika berbicara, dikhawatirkan dapat menyeret pembicara –baik disadari maupun tidak- kepada sikap memuji diri sendiri dan menonjol-nonjolkan pengalaman dan keluasan wawasannya. Ini berarti kejatuhan di awal langkah yang dapat merusak niat.

Sebagai gantinya, berbicaralah dengan menggunakan pola ungkapan yang tidak langsung menisbatkan pengetahuan kepada pembicara dan yang menimbulkan kesan objektif, seperti, “Agaknya para peneliti telah membuktikan adanya…” atau “Pengalaman para pakar di lapangan dakwah menunjukkan akan kebenaran orang yang mengatakan…,” atau “Seorang dai yang telah malang melintang di dunia dakwah memberi komentar terhadap masalah yang kita hadapi…dan patut kita mengambil pelajaran darinya.”

22. Jangan Keraskan Suaramu
Orang yang tengah berdialog sebaiknya tidak mengeraskan suaranya lebih dari yang dibutuhkan oleh pendengar, karena suaraa yang keras itu jelek dan menyakitkan. Pelaku dialog bukanlah seorang orator yang terkadang –pada saat-saat tertentu- dituntut harus mengeraskan suaranya. Perlu diingatkan pula, bahwa kerasnya suara sama sekali tidak dapat menguatkan suatu argumentasi.

Dalam banyak kasus, orang yang suaranya keras, sedikit kandungan ilmunya, lemah argumentasinya, dan sering pula mengeraskan suaranya justru untuk menutupi kelemahannya. Berbeda dengan pemilik suara yang tenang. Suara tenang itu biasanya merefleksikan kematangan berfikir, kekuatan argumentasi dan objektivitas pendirian. Suara yang tenang, yang tidak dibumbui dengan teriakan dan tidak juga bisikan, adalah suara yang paling kuat pengaruhnya dalam hati, disebabkan keagungan suara itu dan ketenangan pemiliknya. (ANW)
 
Sumber : Kitab “Etika Diskusi”, WAMY (World Assembly Moslem Youth)
resource :http://www.akhwatmuslimah.com/2011/06/71/etika-diskusi/

Wednesday 7 March 2012

Jika Manusia Biasa ingin Masuk Surga

Sungguh luar biasa perjuangan mereka yang diberi karunia Allah sebagai manusia ideal dalam meraih tempat abadi yang dijanjikan, yakni surga. Rasanya kita sebagai manusia biasa tidak pantas untuk memasukinya, namun betapa takutnya dan ngerinya jika kita harus berada di dalam neraka.

Kita yakin bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia Dzat yang Bijaksana dan Maha Pengampun. Surga-Nya bukan dibuat untuk manusia-manusia ideal saja, kitapun sebagai manusia biasa juga diberi peluang untuk memasukinya. Kita yang biasa ini oleh Allah tidak dipaksa untuk menjadi orang yang berbuat di luar kapasitasnya. Kita hanya dituntut berbuat sesuai dengan kesanggupan kita asal mau berusaha untuk menjalani proses.

“Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”  (QS: 64:16)

Dengan keterbatasan dan kelemahan, kita masih bersyukur, karena Allah memberikan peluang itu. Dengan rahmat-Nya dan ampunan-Nya kita berharap memasuki surga-Nya tidak seberat dan sesulit mereka ;
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya. Mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, jangalah Engkau hukum kami jika kami lupa dan tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami beban yang kami tidak sanggup memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS:2:286)

Jika manusia ideal mampu berbuat dengan segala kebaikannya, maka kita yang lebih banyak kekurangannya ketimbang kelebihannya ini, mampu menunjukkan bahwa sekecil apapun kelebihan yang kita miliki ini bisa kita syukuri untuk meniti jalan ke surga. Kita tidak berkecil hati karena Allah menghibur kita dengan firman-Nya:
“Katakanlah,”Tiap-tiap orang berbuat sesuai dengan keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS:17:84)

Idealnya, berjihad dengan masuk surga itu dengan harta dan jiwanya. Namun jika kita tidak bisa dua-duanya, apakah kita akan menyia-nyiakan salah satu nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Kalau tidak bisa dengan harta dan jiwa sekaligus seperti manusia-manusia yang ideal, mengapa kita tidak berjihad dengan harta kita atau jiwa kita? Sudah waktunya kita berfikir bagaimana patungan masuk surga.

Source : Ustadz Didik Puwodarsono. 2004. Patungan Masuk Surga. Yogyakarta: Pustaka Salma, hlm 20-23

Wednesday 15 February 2012

RISPER #2

Tuesday 7 February 2012

Surga Dibawah Telapak Kaki Ibu

Surga Dibawah Telapak Kaki Ibu - Dari Abu Hurairah ra, ia menceritakan, suatu hari ada seorang yang datang kepada Nabi Muhammad seraya bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab: “Ibumu!” Orang itu bertanya lagi: “Lalu siapa?” “Ibumu!” jawab Beliau. “Lalu siapa lagi, ya Rasulullah?” tanya orang itu. Beliaupun menjawab “Ibumu!” Selanjutnya orang itu bertanya lagi: “Lalu siapa?” Belia menjawab: “Ayahmu.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Hadits di atas memerintahkan agar kita senantiasa berbuat baik pada kerabat terutama adalah ibu, lalu ayah. Didahulukannya ibu karena ia telah mengandung, menyusui, mendidik dan tugas berat lainnya. “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya setelah dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu (Q.S. Luqman:14). Karena beratnya tugas orang tua, maka seorang anak diwajibkan untuk memperlakukan mereka dengan baik, bahkan membantahnya dengan kata-kata “Ah” pun tidak diperkenankan.

Pengorbanan seorang ibu tidak dapat diukur dengan materi. Ketika melahirkan kita, ia berkorban darah dan berjuang antara hidup dan mati, bahkan ada ungkapan yang menyatakan andai pada saat-saat kritis melahirkan kita, seorang ibu diminta untuk memilih antara nyawanya dengan nyawa anaknya, maka seorang ibu akan memilih menyelamatkan anaknya dari nyawanya sendiri. Ia rela menaggung rasa sakit sembari menyusui anaknya dengan ikhlas. Selanjutnya ia mengasuh dan mendidik kita hingga dewasa. Pada saat bulan Ramadhan, bagi kita yang masih tinggal bersama Ibu, ketulusan dan kebaikannya sangat terasa. Disaat kita masih terlelap tidur, ia telah menyiapkan makanan sahur untuk kita, disaat kita santai sore ia telah menyiapkan buka puasa. Begitupun seorang ayah, demi masa depan anak-anaknya, ia berusaha menafkahi keluarga dengan sebaik-baiknya dengan daya dan upaya yang maksimal. Terlepas semua itu sebagai kewajiban orang tua, kita wajib menghargai mereka dengan sebaik-baiknya. Rasulullah pernah bertanya pada para sahabat: “Maukah aku beritahu dosa yang paling besar di antara dosa-dosa yang besar?” Para sahabat menjawab: “Mau, ya Rasulullah!” Beliau berkata: “Syirik kepada Allah, durhaka kepada orang tua”. Di masyarakat kita dikenal petuah Ridha Allah tergantung pada Ridha Orang tua. Bahkan mendahulukan keperluan ibu lebih baik dari melaksanakan shalat sunnah. Sehingga wajar jika “surga itu di bawah telapak kaki ibu” karena durhaka kepada orang tua merupakan dosa paling besar setelah syirik yang tentunya akan menghalangi pelakunya masuk surga.

“Surga di bawah telapak kaki ibu” Apakah hanya berarti bahwa jika ingin masuk surga seorang anak harus berbuat baik pada ibu bapak?. Tidak!, pada sosok seorang ibu juga melekat tanggung jawab yang berat. Jika kita artikan secara bebas, “surga di bawah telapak kaki ibu” dapat juga berarti bahwa masa depan seorang anak di akhirat nanti sangat tergantung pada ibu, ibu sebagai seorang pendidik, ibu sebagai seorang suri tauladan keseharian bagi anak-anaknya, sehingga seorang ibu sangat berperan dalam mengantarkan mereka masuk surga. Lalu mengapa “surga di bawah telapak kaki ibu” bukan telapak tangan ibu atau di kepala ibu? Secara tersirat kaki berarti tindakan dan tingkah laku (akhlaq). Artinya, akhlaq seorang ibu sangat mempengaruhi akhlaq seorang anak dan akhlaq inilah yang akan menentukan masa depanya di dunia dan di akhirat. Wajarlah jika Rasulullahh berpesan pada setiap orang tua: “Tiada yang ditanam oleh orang tua kepada anaknya yang lebih baik daripada akhlaq yang mulia”. Lingkungan pertama yang berperan penting menjaga keberadaan anak adalah keluarga sebagai lembaga pendidikan yang paling dominan secara mutlak, kemudian kedua orangtuanya dengan sifat-sifat yang lebih khusus. Pada orang tua, terlebih lagi pada diri seorang ibu melekat kewajiban untuk mendidik secara aktif putra-putrinya. Anak telah menghabiskan waktu sembilan bulan di dalam perut ibunya, memperoleh makanan dari tubuh, ruh dan darah ibunya, maka ibu sebagai pihak yang paling dekat dengan anak hendaknya tidak melewatkan interaksi kesehariannya dengan sang anak dalam konteks pendidikan.

Orang tua hendaknya mengajarkan bagaimana mengenal dan mencintai Allah, mengajari ibadah, dan menanamkan akhlaq yang mulia. Karena “sesungguhnya setiap bayi yang lahir dalam keadan fitrah, kedua orang tuanyalah yang mencetak anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau menjadi Majusi” (HR. Bukhari Muslim). Dalam hal pembentukan akhlaq, prinsip dan pemikiran moral harus didasarkan pada aqidah Islam. Atas dasar inilah ibu hendaknya berusaha menguatkan bangunan moral, ketaqwaan, dan kesucian pada diri anak sehingga mengantarkan mereka bahagia di dunia dan akhirat. Rasulullah pernah bersabda: “Dan wanita adalah pemimpin terhadap keluarga rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka” (HR. Bukhari Muslim).

Begitu berat tugas orang tua terutama ibu dalam mendidik anak. Sehingga diperlukan seluruh potensi kebaikan pada diri ibu, diperlukan pengetahuan dan pengetahuan praktis tentangnya. Ibu, sebagaimana juga ayah, perlu mengetahui prinsip dasar pendidikan anak, baik yang bersifat fundamental dalam syariat Islam maupun ilmu pengetahuan umum yang terus berkembang. Semoga kita semua dapat menjadi orang tua yang menjadi tauladan bagi generasi muslim selanjutnya. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu” (Q.S. At-Tahrim:6) “Surga di bawah telapak kaki ibu”. Pada diri ibu terletak tanggung jawab besar mengantarkan anaknya ke surga dengan memberikan pendidikan terbaik. Ibu adalah teladan, ibu adalah contoh sempurna dalam akhlaq dan tindakan. Kebahagiaan dan kesengsaraan anak baik di dunia maupun di akhirat sangat dipengaruhi oleh sosok seorang ibu. Semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda atas keikhlasan seorang ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mendidik putra-putrinya. Wallahu a’alm bisshawab.

Source: http://forumislamekonomi.blogspot.com

Friday 3 February 2012

Kajian SENSOR

Thursday 26 January 2012

Pribadi Muslim Unggul

Hakikat unggul dan unggulan adalah sebuah “proses”. Proses adalah sesuatu yang harus dijalani dan diikuti. Bukan sesuatu yang given jatuh dari langit atau diperoleh dengan cara by passing (tiba-tiba). Hal inilah yang melandasi Michael Hart dalam bukunya Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah  memilih dan mengakui bahwa generasi sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah generasi terbaik yang pernah ada dalam sejarah umat manusia (ukhrijat linnas).

Mengapa bisa demikian? Tak lain karena keberhasilan Rasulullah dalam proses membentuk sebuah sosok masyarakat ideal, khalifatul fil ardy.

Namun bagaimana caranya? Penelitian membuktikan, bahwa keunggulan seorang manusia ditentukan oleh banyak elemen kehidupan, terutama indra yang dimilikinya termasuk mata hati. Elemen kehidupan ini mempunyai peranan penting dalam proses pengamatan, investigasi, pendengaran, penelitian dan pengembangan diri.

Dengan berfikir tentang alam semesta (atau dalam bahasa Al-Quran yatafakkaruna fi khalqissamawati wal ardy) maupun berzikir mengingat Allah (Yadzkuruunallah) secara maksimal dapat melahirkan manusia unggul dan unggulan.

Bisa dibayangkan, ketika pada hati seorang muslim tertanam kokoh bahwa Allah tujuan dari segala tujuan hidupnya. Lalu melaksanakan shalat sebagai upaya formatting sekaligus character building (pembentukan sifat, sikap dan karakter diri). Kemudian ditambah training pada setiap bulan Ramadhan sebagai self controlling (control dan kendali diri). Maka, semestinya dalam kalangan muslim akan muncul generasi-generasi unggul yang mampu menghadapi segala macam tantangan zaman. Subhanallah.

Belum lagi dengan keseterdiaan networking (jaringan dan kepedulian) yang dibangun melalui zakat, yang merupakan sebuah strategic collaboration. Dan terakhir diformulasikan dalam total action (ketundukan, kepasrahan dan rela berkorban demi sang Maha Agung) yakni suatu kerja terpadu dan mengglobal, yang diimplementasikan dalam ibadah haji. Maka lengkap sudah teori manajemen diri dari Islam.

Namun pertanyaannya, mengapa keunggulan itu tidak muncul pada generasi kita? Padahal syahadat telah kita ulang setiap hari, shalat sehari lima kali, puasa wajib sebulan dalam setahun, zakat terus mengalir, dan jutaan hujjaj bertawaf mengelilingi ka’bah tiada henti? Adakah yang hilang dari kita? Apa yang salah? Apakah dengan ketiadaan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersama kita merupakan alasan yang sah untuk berkata ‘kita pantas kalah’?

TENTUNYA TIDAK. Karena ada satu makna yang tersembunyi dibalik kata unggul yang belum kita eksplorasi. Makna itu adalah kualitas.

Akan selalu adsa suatu batu uji empiris atau aktivitas ibadah mahdhah kita. Dan ini menentukan bagi timbangan kualitas kita. Apapun klaim kita atas Mission Statement, Character Building, Self Controlling, Networking, Strategic Collaboration, Total Action yang tersembunyi di balik syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji kita. Pada ghalibnya dia akan diuji pada wilayah public-empiris di masa hidup dan kelak di alam akhirat. Termasuk juga ibadah ghairu madhah (ibadah sosial) yang profan.

Kedua terminal pengujian ini mempunyai kriteria yang sama, yakni kualitas dari sudut kebenarannya (itqanul amal) dan dari sudut keikhlasannya (ikhlasunniyah). Di mana yang satu berkaitan dengan ‘profesionalitas’ dan yang lain berkaitan dengan kemurnian komitmen kepada Allah yang Maha Pencipta. Perpaduan kedua energi inilah sebenarnya rahasia dibalik kata “unggul” itu. Dan inilah yang pantas disebut sebagai energi spitual dan natural.

Dua hal itulah kata kunci dari terciptanya manusia unggul. Karena profesionalitas merupakan sunnatullah dalam memahami ayat-ayat kauniyah. Sedang keikhlasan adalah sunnatullah untuk memperoleh ridha-Nya. Pada kedia bagian inilah kita mesti bermuhasabah seberapa jauh komitmen kita pada kualitas amal dan hati. Karena inilah kunci keunggulan itu.
Lalu bagaimana kiat agar menjadi pribadi yang unggul? Berikut ini beberapa di antaranya :
  1. Percaya diri, yakinkan bahwa kita ditakdirkan menjadi umjmat terbaik, lakukan amal terbaik
  2. Bangun sistem yang kondusif pilih lingkungan dan teman-teman yang berkualitas
  3. Mampu bersinergi (berjamaah)
  4. Manajemen qalbu mampu mengendalikan hati
Bangkitlah dan jangan ditunda-tunda lagi untuk menjadi seorang pribadi muslim yang berprestasi, yang unggul dalam potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada setiap diri hamba-hamba-nya.

Source: Tim Akademik Tutorial. Beriman Istiqomah Berislam Kaffah. Yogyakarta: Tim Tutorial Pendidikan Agama Islam. 2010, hlm. 74-77

Sunday 15 January 2012

Kajian SENSOR

Assalamu’alaykum
saudara-saudaraku, akan diadakan kembali Kajian SENSOR dengan tema “Kiamat 2012, Benar Nggak, sih?” Pembicara : Ustadz Sutrisno, Senin, 16 Januari 2012 pukul 14.15 till end @Masjid Ash Shiddiq. Jangan ketinggalan ilmunya ya, Insya Allah bermanfaat

Dialogika (1): Pemuda & Ulama

Ada seorang pemuda yang telah lama menuntut ilmu di luar negeri, namun selama itu pula ia tidak pernah belajar tentang pengetahuan agama (Tsaqofah Islam). Sekembalinya ke negeri asal, ia pun sering bertemu dan berdiskusi dengan teman serta kenalannya dari berbagai kalangan, baik dari kalangan intelektual – akademis maupun para aktivis. Di tengah perjalanan hidup yang ia jalani, kekosongan pengetahuan mengenai agamapun ia rasakan dan sadari, sehingga memunculkan kegelisahan di dalam hatinya dan membuat ia terus bertanya – tanya dengan pertanyaan yang sama dimana pernah ia tanyakan juga kepada para dosen dan profesor yang mengajar di tempat ia menuntut ilmu selama ini. Di dalam pencariannya yang cukup panjang itu, selama itu pula pertanyaannya tersebut belum terjawab sama sekali, sehingga ia bertekad untuk mencari seseorang yang paham tentang Islam dan bisa menjawab 3 pertanyaan besarnya tersebut. Dalam masa – masa pencariannya, pemuda tersebutpun bertemu dengan seorang Ulama yang kemudian tanpa disengaja merekapun menjalin dialog.

Ulama : “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”
Pemuda : “Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh, Maaf, apakah anda mengenal saya atau kita pernah bertemu sebelumnya?” (tanya sang pemuda kepada Ulama tersebut dengan menunjukan sedikit ekspresi heran di wajahnya atas salam dari sang ulama yang baru ia temui).
Ulama : “Sebagai muslim, sudah seharusnya selalu memberi salam setiap kali bertemu dengan saudaranya yang sesama muslim, baik yang sudah saling mengenal atau belum, sudah pernah bertemu sebelumnya ataupun baru pertama kali bertemu.”
Pemuda : ”Oh… (iapun jadi paham dan berfikir bahwa orang tersebut merupakan orang yang paham tentang Islam sehingga mungkin bisa menjawab pertanyaannya yang selama ini belum terjawab). Maaf, bolehkah saya tau anda siapa dan apakah bisa menjawab pertanyaan – pertanyaan saya?”
Ulama : ”Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.”

Pemuda : ”Anda yakin? Sedangkan Profesor di Amerika dan banyak orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.”
Ulama : ”Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.”

Pemuda : ”Saya ada 3 pertanyaan:
1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya!
2. Kalau memang benar ada takdir, tunjukkan takdir itu pada saya!
3. Kalau syaitan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syaitan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?”

Tiba-tiba ulama tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.

Pemuda : (sambil menahan sakit) ”Hei! Kenapa anda marah kepada saya?”
Ulama : ”Saya tidak marah… Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.”

Pemuda : ”Saya sungguh – sungguh tidak mengerti.”
Ulama : ”Bagaimana rasanya tamparan saya?”

Pemuda : ”Tentu saja saya merasakan sakit.”
Ulama : ”Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?”

Pemuda : ”Ya!”
Ulama : ”Tunjukan pada saya wujud sakit itu!”

Pemuda : ”Saya tidak bisa.”
Ulama : ”Itulah jawaban pertanyaan pertama… kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujud-Nya. Maka cukup dengan mengamati dan memikirkan tentang ciptaan-Nya (alam, kehidupan, manusia), kita akan menemukan kekuasaan dan besaran Allah SWT sebagai Tuhan tanpa harus melihat wujud-Nya karena keterbatasan yang kita miliki.”

Ulama : ”Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?”
Pemuda : ”Tidak.”

Ulama : ”Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini?”
Pemuda : ”Tidak.”

Ulama : ”Itulah yang dinamakan takdir.”

Ulama : ”Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?”
Pemuda : “Kulit.”

Ulama : “Terbuat dari apa pipi anda?”
Pemuda : “Kulit.”
Ulama : “Bagaimana rasanya tamparan saya?”
Pemuda : “Sakit.”

Ulama : “Walaupun syaitan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk syaitan. Semoga kita bukan termasuk orang – orang yang ditempatkan bersama syaitan di neraka…”
Pemuda itu langsung tertunduk dan memeluk ulama tersebut sambil memohonnya untuk mengajarkan Islam lebih banyak lagi. Pertanyaan yang selama ini tertancap di benaknyapun telah terjawab dengan sangat rasional serta memuaskan akal, menentramkan hati/jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia.

Saturday 7 January 2012

Berlomba dalam Kebaikan itu Wajib, Lho!

Wahai sahabat, masih ingatkan dengan firman Allah yang artinya berikut ini.

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepada-Nya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 148)

Dalam ayat tersebut terdapat kalimat fastabilqul khairat, yang artinya maka berlomba-lombalah kalian dalam hal-hal yang baik. Tuuuh, kan Allah menggunakan fi’il amr (kata perintah) istabiquu dalam ayat itu. Kalau kamu-kamu belajar ushul fiqh, di sana ada salah satu kaidah yang menyebutkan bahwa kata perintah mengandung makna kewajiban. Juga ada salah satu kaidah dalam ilmu Nahwu (Tata Bahasa Arab), kata istabiquu mengandung perintah yang ditujukan kepada orang banyak, dan ditambah lagi Allah menyebutkan ‘objek yang diperlombakan’ dengan menggunakan ism jama’, yaitu khairaat yang berarti berbagai jenis kebaikan.

Alamaak susah nian…! Enggak kok. Artinya perintah untuk berlomba dalam kebaikan itu wajib untuk semua orang, dan kebaikan yang pantas diraih itu dalam banyak hal serta banyak jenis. Teman-teman yang senantiasa fastabiqul khairaat pasti menanggapi kelebihan seseorang dengan positif. Jika kita bisa dan mampu, pasti kita akan berusaha lebih baik dalam bidang yang sama atau mencari bidang lain dan kemudian be the best untuk bidang yang kita pilih.

Sayang sekali deh, kalau kita membatasi diri dengan mengatakan, ah itu kan dia, itu karena dia pintar, punya fasilitas, ortunya kaya, de-el-el… yang akhirnya kita memberikan batasan-batasan sendiri atas kemampuan kita yang sebenarnya lebih. Itu namanya kalah sebelum bertanding, Saudara-saudaraku!

Kamu-kamu nggak mau menjadi pribadi yang seperti itu kan? Yuk, pantheng terus tulisan ini deh.

Dikutip : Jannah, Izzatul . The Winner or The Looser. Solo: Era Eureka. 2003, hlm. 13-15